Thursday, 16 July 2015

, , , , ,

Kisah Perawat dan Pasiennya (Kisah Nyata Perjalanan Menuju Islam)



Segenap kru redaksi Kisah Muslim Dunia mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri 1436 Hijriah. Taqabbalallahu minna wa minkum. Semoga amal kita diterima oleh Allah Subhanahu wa ta'ala.



Untuk menemani momen bersantai Anda dengan keluarga, kami hadirkan sebuah kisah nyata tentang perjalanan seorang perawat yang awalnya tidak tahu apa pun soal agama akhirnya masuk Islam. 

Namaku Cassie, umur 23 tahun. Aku lulus sertifikasi perawat tahun ini dan mendapat kerja sebagai perawat rumahan. 

Pasien pertamaku adalah seorang lelaki Inggris berusia 80-an tahun yang menderita Dimensia Alzheimer. Dari pertemuan pertamaku dengannya, aku tahu ia seorang muslim. Karena itu aku merasa harus memperoleh beberapa informasi mengenai cara terbaik merawat pasienku itu agar pelayanan yang aku berikan tidak bertentangan dengan keyakinannya. 

Awal-awal aku bekerja kepadanya aku memberikan daging halal dan memastikan tak ada daging babi dan alkohol seperti yang telah kubaca di beberapa literatur Islam. 

Paisienku waktu itu adalah seorang lelaki yang sudah sangat tua, sehingga membuat banyak kawan kerjaku tak habis pikir mengapa aku harus bersusah payah dalam merawatnya. Tapi aku secara pribadi berkeyakinan bahwa seseorang yang telah memegang suatu prinsip agama maka ia harus kita hormati sebaik mungkin. 

Setelah beberapa minggu merawatnya, aku mulai heran dengan sebuah gerakan yang ia kerjakan berulang-ulang. 

Awalnya kukira itu adalah gerakan yang ia tiru dari seseorang, tapi dalam batin aku selalu bertanya mengapa gerakan itu terus ia ulang-ulang dalam waktu-waktu tertentu: pagi, siang, malam. 

Gerakannya berbentuk mengangkat tangan, rukuk, dan meletakkan kepala di lantai. Aku tidak paham sama sekali. Aku juga melihatnya mengulang-ulang bacaan-bacaan dengan bahasa yang aku tak pahami sama sekali. 

Hal aneh lain adalah ia tak mengizinkanku menyuapinya makan dengan tangan kiri (karena aku seorang kidal).

Salah seorang rekan kerjaku memberiku saran untuk ke Paltalk sebuah situs online untuk debat dan berdiskusi melalui video chat. Aku pikir karena aku tidak mengenal satu pun muslim kecuali pasienku itu tak ada salahnya jika aku mencoba bertanya tentang Islam kepada muslim secara langsung. Akhirnya aku buka laman Islam dan masuk ke kelas ‘Risalah Kebenaran’.

Di sana aku bertanya tentang gerakan yang selalu diulang-ulang seperti yang aku lihat dari pasienku. Hingga aku mendapat jawaban bahwa itu adalah gerakan ibadah. Aku tidak mempercayainya hingga seseorang menunjukkanku sebuah video di YouTube yang menampilkan gerakan shalat. 

Aku sangat terkejut. 

Seseorang yang telah kehilangan ingatannya tentang anak-anaknya dan pekerjaannya, hanya bisa makan dan minum, mampu mengingat bukan hanya gerakan shalat tetapi juga bacaan-bacaan shalat secara lengkap. 

“Luar biasa,” aku hanya bisa mengatakan itu dalam hati.

Aku tahu pasienku seorang yang taat beragama. Karena itu aku ingin memperlajari Islam lebih dalam untuk memberikan pelayanan terbaik. 

Aku datang ke Paltalk sesering mungkin. Suatu saat aku ditunjukkan seseorang untuk membaca Al-Qur’an dan mendengarkan lantunan ayat suci Al-Qur’an.  

Aku sangat suka dengan Surat Lebah (An-Nahl:16). Aku sering mendengarkan lantunan ayat-ayatnya secara berulang-ulang dalam sehari.

Aku menyimpan rekaman Al-Qur’an di iPodku. Kemudian kuberikan ke pasienku dan dia tersenyum dan menangis. 

Aku sering memberikan banyak hal yang aku dapat dari paltalk kepada pasienku hingga aku menyadari sesuatu. 

Selama ini, aku tidak pernah melihat sejenak ke dalam diriku sendiri: aku tidak tahu wajah ayahku, ibuku meninggal ketika aku berusia 3 tahun. Aku dan saudara laki-lakiku dibesarkan oleh kekek yang empat tahun lalu juga meninggal. Jadi kini aku hanya berdua dengan saudaraku. 

Namun meskipun begitu banyak kehilangan dalam hidupku, aku tetap merasa bahagia. 

Tapi setelah bersama pasienku itu beberapa waktu, aku merasa ada sesuatu yang sangat aku rindukan. Aku rindu perasaan damai dan tenang seperti yang terlihat dari aura tubuh pasienku, meski ia mengalami banyak penderitaan tapi ia masih merasa sangat tenang. 

Aku ingin merasakan perasaan memiliki yang luar biasa yang bisa membuat pasienku itu merasa tetap tenang meski sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi. 

Aku diberi alamat beberapa masjid yang ada di sekitarku oleh seorang perempuan yang aku kenal di paltalk. Hingga suatu hari aku berkunjung ke salah satu masjid itu. Sampai di sana aku melihat orang-orang tengah melaksanakan shalat dan jatuhlah air mataku. Aku terisak. 

Aku sangat tertarik dengan masjid. Setiap hari aku ke sana. Imam masjid dan istrinya sering memberikanku buku-buku dan rekaman pengajian atau murotal. Mereka selalu memberi jawaban dengan sangat baik atas pertanyaan-pertanyaanku . 

Setiap pertayaan yang aku ajukan kepada imam masjid dan saat berada di paltalk dijawab dengan gamblang, jelas, dan mendalam. Hingga tak ada yang bisa aku lakukan kecuali menerimanya. 

Suatu petang ketika aku mengikuti sebuah kajian di paltalk, pembicara yang memberikan ceramah tiba-tiba menanyaiku apakah aku masih memiliki pertanyaan. Aku katakan padanya tidak. Apakah jawabannya memuaskan. Aku katakan ya sangat memuaskan. 

Kemudian dia berkata,”Lalu apa yang menghalangi Anda untuk masuk Islam?”

Aku tak bisa menjawabnya.

Keesokannya aku pergi ke masjid untuk melihat orang-orang mengerjakan shalat subuh. Kemudian aku bertemu dengan imam masjid. Ia juga menanyaiku dengan pertanyaan yang sama. Dan lagi-lagi aku tidak bisa menjawab. 

Lalu aku pulang dan menemui pasienku. Aku menyuapinya makan. Aku menatap matanya lekat-lekat. Saat itulah aku sadar, pasienku itu hadir dalam hidupku untuk sebuah alasan dan satu-satunya yang mencegahku masuk Islam adalah karena ketakutanku. Bukan ketakukan dengan sesuatu yang buruk, tapi sebaliknya ketakutan untuk menerima sesuatu yang baik. Dan aku selalu berpikir bahwa aku tidak pantas masuk Islam. 

Sore itu pun akhirnya aku datang lagi ke masjid untuk menemui imam masjid. Aku katakatan padanya bahwa aku siap mengikrarkan syahadatain: lā ilāha illà al-Lāh, Muhammadun rasūlu Al-Lāh. Tak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.

Imam masjid menuntunku membaca kalimat syahadatain dan memberikan wejangan kepadaku tentang apa-apa yang harus dilakukan berikutnya. 

Tak ada kata yang pas untuk menggambarkan perasaanku saat itu. 

Seolah seseorang baru saja membangunkanku dari tidur panjang dan kemudian aku bisa melihat segalanya lebih jelas. 

Perasaanku dipenuhi kebahagiaan, kedamaian, dan ketenangan. 

Orang pertama yang aku beri tahu bukan saudaraku melainkan pasienku. Aku menemuinya dan sebelum aku membuka suara ia telah terisak dan tersenyum kepadaku. Aku sesenggukan di hadapannya. Aku merasa berhutang banyak padanya. 

Kemudian aku masuk ke paltalk dan mengikrarkan syahadatain. Mereka banyak membantuku. Meskipun aku tidak pernah bertemu langsung dengan mereka, aku merasa mereka lebih dekat ketimbang saudaraku. 

Akhirnya aku menghubungi saudaraku dan mengatakan bahwa aku telah berislam. Meski ia tak bahagia mendengar itu tapi ia sangat mendukung keputusanku. 

Setelah minggu pertama aku menjadi muslimah, pasienku itu akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya. Ia meninggal dunia. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Ia meninggal dengan tenang. Aku satu-satunya orang yang bersamanya. Ia seperti ayahku yang tak pernah ada dalam hidupku dan ia adalah jalanku untuk masuk Islam. 

Setelah hari pertamaku masuk Islam hingga kini, aku selalu mendoakannya.

Aku mencintainya karena Allah. 

Islam adalah agama yang terbuka, oleh karena itu siapa saja yang ingin memasukinya... Sesungguhnya Allah Maha Penyayang lagi Maha Bijaksana. 

Catatan: saudari kita Cassie ini telah meninggal dunia di Bulan Oktober 2010 yang lalu, Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun, setelah ia memberi dakwah kepada saudara laki-lakinya yang juga akhirnya masuk Islam, Alhamdulillah.     

www.muslimlinkpaper.com

    

Tuesday, 16 June 2015

, , , , ,

Kisah Mualaf Yahudi: Alhamdulillah Aku Terlahir Kembali


Dari Syalom ke Salam

Sharon

Kami bertemu dan akhirnya menikah ketika kami sama-sama bekerja sebagai konselor narkoba di sebuah pusat rehabilitasi. Kami sangat berbeda karena kami memang berasal dari latar kehidupan berbeda. Suami saya seorang kulit hitam, sementara saya kulit putih. Suami saya seorang muslim, sementara saya seorang yahudi. 

Meski ia tidak meminta saya masuk Islam sebelum menikah, namun ia selalu memberikan dakwah tak langsung kepada saya. Suami saya memiliki ruangan perpustakaan yang berisikan buku-buku tentang Islam, karena saya seorang kutu buku, makanya saya banyak membaca buku-bukunya. Saya juga mengamati kesantunannya dalam bertindak, shalat lima waktu yang ia kerjakan, pergi shalat jumat ke masjid, dan puasa di bulan Ramadhan. Karena itu secara alami saya mulai tertarik dengan Islam.  

Suatu ketika, saya dan suami pergi ke masjid untuk mengikuti pengajian. Itulah kali pertama suami mengajak saya ke masjid sejak setahun kami menikah. Saat kami tiba di masjid, suami saya menunjuk pintu masuk masjid untuk wanita-di lantai bawah tanah. Kami setuju akan bertemu lagi di parkiran setelah pengajian selesai. 

“Baik, saya bisa melakukan ini,” saya berkata dalam hati. Saya masuk ke jalan masuk itu yang sedikit gelap dan lembab, menuruni tangga ke bawah. 

Saya termasuk tipe orang yang tidak terlalu sulit beradaptasi dengan orang banyak. Saya sudah terbiasa berada di sebuah pertemuan dengan berbagai orang yang berlatar berbeda. Karena itu saya tidak canggung lagi dalam situasi semacam ini. 

Suami saya telah meminta saya untuk mengenakan pakaian yang patut dalam acara ini. Saya mengenakan pakaian lengan panjang. Saya yakin, para wanita di sana akan menerima penampilan saya. 

Saya belum pernah melihat begitu banyak muslimah berkumpul dalam satu tempat seperti yang saya saksikan saat itu. Sebagian besar dari mereka mengenakan hijab biasa. Saat itu ada dua wanita muslimah mengenakan pakaian tertutup rapat mulai dari kepala hingga kaki, hanya menyisakan kedua matanya. Mereka terus mengamati saya. Beberapa muslimah yang duduk bersamanya mengenakan hijab yang agak lebar. 

Satu dari mereka berdiri dan berjalan mendekati saya. Ia mengenalkan dirinya, bernama Basimah. Ia tampak bersahaja.   
  “Hai,” saya menyapanya. 
  “Nama saya Sharon. Saya ke sini untuk menghadiri pengajian,” lanjut saya. 
  “Ada orang lain yang menemani anda?” ia bertanya.
  “Suami saya, ada di atas,” jawab saya. 
  “Oh! Suami anda muslim?” ia bertanya dengan sedikit keheranan.
  “Ya,” jawab saya.
  “Alhamdulillah,” ia berucap.
  “Duduklah bersama kami,” ia mengajak saya duduk bersama dengan kawan-kawannya yang lain.

Ia mempersilakan saya duduk di samping tiga muslimah lain yang telah duduk. Mereka semua adalah wanita paling menyenangkan yang pernah saya temui. Mereka semua memperkenalkan diri mereka masing-masing, saya lupa nama mereka. Basimah kemudian berdiri kembali dan menyambut kedatangan muslimah yang lain. 

  “Dari mana asal anda?” salah seorang muslimah menanyai saya. 
   Saya katakan padanya bahwa saya berasal dari Amerika, lahir di New York. 
  “Apakah anda berniat menjadi muslim?” muslimah lain tiba-tiba bertanya dengan ekspresi wajah sumringah. 
  “Tidak, saya seorang yahudi,” jawab saya. 
  “Apakah anak anda muslim?” muslimah lain bertanya. 
  “Tidak, saya belum punya anak,” jawab saya. 

Ketika pengajian itu dimulai, para muslimah langsung berkumpul di ruang masjid dan duduk di karpet mewah. Namun setelah lima menit berjalan, para muslimah mulai ngobrol sendiri hingga suaranya menandingi suara penceramah yang terdengar melalui speaker. (Ini catatan untuk para muslimah).

Setelah pengajian selesai, beberapa muslimah pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Basimah meminta saya untuk tetap duduk tenang hingga makanan siap dihidangkan. 

  “Biar saya membantu anda?” tawar saya. 
  “Oh tidak perlu repot-repot, anda tamu kami. Beberapa wanita Amerikan juga datang ke sini. Akan saya kenalkan kepada anda nanti,” jawab Basimah. 

Basimah memanggil seorang wanita yang duduk di sudut masjid. Wanita itu pun datang kepada kami, kemudian Basimah dan wanita itu pun bertegur sapa dengan salam. Lalu keduanya menoleh kepada saya. 

  “Ini Sharon. Dia seorang yahudi. Bisakah kamu menemaninya hingga tiba waktu makan?” pinta Basimah kepada wanita itu. 
   ***
Sebelum saya keluar dan menemui suami, Basimah memberi saya nomor telepon dan meminta saya menelponnya. Ia juga merencanakan untuk berkunjung ke rumah saya. Dan benar saya menelponya. Hingga kami berkawan akrab. Ia mengatakan segalanya tentang Islam kepada saya. 

Ia tahu saya tertarik dengan Islam dan bisa merasakan bahwa hati saya tengah mencari dan menginginkan kedamaian spiritual. Suatu petang ketika saya dan suami mengunjungi rumahnya, ia menawari saya untuk masuk Islam. Ia mengatakan bahwa seluruh dosa saya akan terhapuskan jika saya masuk Islam. Pernyataan itulah yang menjadi titik perubahan bagi saya.

Dia mengatakan bahwa saya akan terlahir kembali, seperti bayi yang baru dilahirkan tanpa dosa dan diberi kesempatan baru. Perasaan saya sangat terenyuh dan akhirnya saya menangis. Saya ingin mendapat kesempatan baru untuk mendekatkan diri kepada Allah. Saya selalu mencinta Tuhan, namun saya tersesat selama ini. Kemudian akhirnya kami meminta suami Basimah untuk menuntun saya membaca kalimat syahadatain.

Ketika saya katakan hal ini kepada suami, ia sangat kaget dan terlihat bahagia sekali. Awalnya ia menanyakan apakah saya benar-benar yakin dengan pilihan saya ini. Saya katakan padanya bahwa saya sangat yakin. Ia tampak tidak percaya.

Tak ada konflik batin saat itu, tak ada ketakutan dan keraguan. Setelah saya mengikrarkan syahadatain, suami Basimah berkata,”Mabruk (selamat), anda muslim sekarang.”

Sebelum kami pulang, Basimah memberi saya sebuah buletin tentang kesucian diri setiap wanita muslimah. Ia juga memberi saya sajadah, mukena, dan hijab. Saya kenakan hijab sejak hari itu, alhamdulillah. Saya tak pernah menanggalkannya bahkan ketika peristiwa 11 september terjadi. Ketika kami sampai rumah, suami memberi saya hadiah Al-Qur’an dan ringkasan Shahih Bukhari.  

Setelah saya masuk Islam, ayah saya mencela saya habis-habisan. Ia sangat marah kepada saya karena telah menikah dengan lelaki muslim dan beliau tak mau menganggap suami saya sebagai menantunya. 

  “Tapi Sharon, muslim itu membenci kita!” kata ayah sambil terisak. 

Seluruh usaha saya untuk menerangkan perbedaan antara Islam dan gerakan politik dalam masalah Palestina dan Israel tak berhasil. 

Tak apa bagi saya, karena beliau sendiri adalah anggota keluarga pertama yang menikah dengan wanita selain yahudi. Ibu saya dulu seorang Katolik. Yang membuat ayah saya semakin terluka adalah suami saya juga seorang Afrika Amerika. 

Ayah meninggal di bulan Agustus 2001, satu bulan sebelum peristiwa 11 September terjadi. Ibu meminta semua orang untuk tak mengabari saya soal kematian ayah hingga setelah penguburan beliau. Apakah mereka takut saya muncul dengan pakaian islami di Sinagog dengan ditemani lelaki berkulit hitam? Dalam Islam kita diajari bahwa agama Islam ini diperuntukan bagi semua manusia dan untuk setiap zaman. 

Tak ada masalah jika seorang muslim itu berkebangsaan Mesir, Pakistan, Amerika, Saudi, Indonesia, atau Palestina. Tak masalah pula jika seorang muslim itu berkulit putih, hitam, merah, atau kuning. Tak masalah jika seorang muslim itu berbahasa Arab, Inggris, Spanyol, atau Urdu. Perbedaan budaya kita tak perlu menjadi pemecah belah umat. 

Allah berfirman dalam Al-Qur’an: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Al-Hujurat:13)

Semoga kisah ini bermafaat bagi kita semua.


, , ,

Akhirnya Kutemukan Tuhan



Ioni Sullivan

Saya menikah dengan lelaki muslim dan kini telah dikaruniai dua anak. Kami tinggal di Lewes, yang mana mungkin saya satu-satunya wanita berhijab di daerah ini. 

Saya lahir dan tumbuh dalam keluarga kelas menengah yang menganut ateis. Ayah saya seorang profesor sementara ibu seorang guru. Setelah saya menyelesaikan gelar MPhil di Cambridge di tahun 2000, saya bekerja di beberapa negara: Mesir, Jordan, Palestina, dan Israel. Saat itu saya memiliki stereotip buruk tentang Islam, tapi berangsur-angsur terkesan dengan keteguhan para pemeluk Islam yang terpancar dari iman mereka. Kehidupan mereka tampak payah, namun setiap muslim yang saya jumpai terlihat aura dari dalam diri mereka ketenangan dan keteguhan, sangat kontras dengan gaya hidup yang dulu saya jalani. 

Di tahun 2000, saya jatuh hati dengan seorang pria muslim berkebangsaan Yordania dan akhirnya saya menikah dengannya. Ia bukan tipe muslim taat. Awalnya kami hidup dengan gaya hidup ala barat: pergi ke bar, klub malam dan semisalnya. Namun pada masa itu pula saya mulai kursus bahasa Arab dan mencoba membaca Al-Qur’an terjemahan Inggris. Setelah saya membaca Al-Qur’an saya menemukan bukti nyata bahwa Tuhan itu ada, yaitu adanya alam semesta ini dengan keindahan tanpa batas dan keteraturan alam semesta ini. Bukan dari seseorang yang meminta saya meyakini bahwa Tuhan itu berjalan di bumi dalam wujud manusia. Saya tak butuh pendeta yang akan memberkati saya atau tempat sakral untuk beribadah. 

Setelah itu saya mulai mencari ajaran-ajaran ibadah yang lain yang selama ini saya ingkari. Saya temukan puasa, zakat wajib, menjaga kesucian diri, dan sebagainya. Saya berhenti melihat semua ritual ibadah itu sebagai PENGEKANG KEBEBASAN PRIBADI, dan mulai menyadari bahwa ibadah-ibadah itu sebagai PENGONTROL DIRI.

Dalam hati, saya mulai menyatakan diri sebagai muslim. Namun saya merasa tak perlu mengatakannya kepada semua orang. Saya masih mencoba menghindari konflik dengan keluarga dan kawan-kawan. Pada akhirnya hijablah yang membuat saya terkesan “keluar” dari lingkungan sosial saya sendiri. Tapi saya merasa tak jujur pada diri sendiri bila tak mengenakan hijab. Karena saya mengenakan hijab ada beberapa gesekan hubungan antara saya dengan beberapa kenalan, bahkan ada hal-hal yang menurut saya seperti lelucon: orang-orang terus-menerus menanyai saya dengan nada memaksa apakah saya memiliki penyakit kangker.  

, ,

Yang Seperti Mimpi Tapi Bukan Mimpi Adalah Kematian


“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).


Kematian itu seperti mimpi, tak jauh dan tak terduga. Kita yang hidup bisa merasakan itu. Ketika pada suatu hari, kita mendengar atau bahkan menyaksikan sendiri kawan, saudara, atau bahkan keluarga dekat kita meninggal. Mereka meninggal dan meninggalkan perasaan tak percaya di hati kita. Kita bisa bayangkan sendiri, sebelum mereka meninggal, kita melihat mereka menghirup udara dengan santai atau kita masih mendengar mereka menjalani hidup normal seperti biasa dan di waktu yang tak disadari akhirnya kita lihat atau dengar mereka tinggal jasad. Bergeming. Kaku. Dingin. Tak bernafas. Diam. Terbaring. Mata terpejam. Dan itulah yang tak jauh sekaligus tak terduga, seperti mimpi. Mereka meninggal.

Kita tak percaya. Orang yang kemarin sore masih tergelak bersama kita, kini hanya seonggok jasad kaku. Atau orang yang kemarin malam terbaring di kasur rumah sakit dan berangsur-angsur sembuh, tapi esok pagi hanya menyisakan kesunyian. Tak ada nafas. Meninggal. Atau orang yang di pagi hari kita lihat ia sehat wal afiat namun sorenya di hari yang sama, orang itu malah sudah dishalatkan. 

Kematian itu seperti bunga tidur. Seperti mimpi yang sering kita abaikan. Tak disadari bahkan kita sering lupa, tapi tak jauh. Dengan kata lain ia dekat. Seperti mimpi. Dengan merebahkan tubuh, terlelap, tak ingat, dan kita akan berangsur-angsur menyaksikan dunia lain: mimpi. Demikianlah prosesnya. Ia bersama kita yang hidup. Yang masih merasakan udara segar di pagi hari. Ia memiliki jadwal tersendiri di keseharian kita. 

Di sisi yang lain, mimpi juga tak terduga. Tak terprediksi karena terjadi begitu saja. Tanpa skenario yang memimpin jalannya cerita. Kita bisa bayangkan itu. Di detik tertentu, kita bisa melakukan sesuatu di suatu tempat dan di detik berikutnya kita bisa melakukan sesuatu yang lain di tempat yang lain. Demikianlah komposisi mimpi kita yang sering membuat kita tak percaya.

Karena itu kita menganggapnya tak masuk akal dan kita mengabaikannya. Karena dalam mimpi kita masih bisa bangun. Kita masih punya dunia nyata yang kita jalani setiap hari. Kita masih bisa bernafas lega karena hal-hal dalam mimpi tak benar-benar terjadi. Kita masih bisa melanjutkan hidup dan merasakan kebahagiaan yang nyata. Dan akhirnya kita merasa tak perlu memikirkan hal-hal yang tak jauh dan tak terduga itu. Karena mimpi sering membuat kita tak percaya. 

Itu pula yang terjadi ketika kematian terjadi. Kita melihat orang-orang yang kita kenal atau orang-orang terdekat kita hidup, berinteraksi dengan kita, mengobrol, tergelak, bersedih dengan kita dan tiba-tiba orang itu jadi seonggok tubuh yang diam. Bergeming di pembaringannya. Dimandikan oleh beberapa orang. Dipakaikan baju sederhana. Dishalatkan puluhan atau ratusan orang. Diangkat orang-orang dengan bergantian atau dibawa mobil ambulans. Diantar ke sebuah tanah lapang. Digalikan sebuah lubang di tanah. Diturunkan ke lubang itu. Diletakkan di lubang itu. Ditata sedemikian rupa. Hingga akhirnya lubang itu ditutup dengan tanah dan orang yang kita kenal atau keluarga dekat itu tetap dilubang itu, dikubur dengan tanah pasir, lempung, dan cadas. Teruruk semuanya hingga membentuk gundukan dan orang yang kita kenal atau keluarga dekat yang biasanya berinteraksi dengan kita, mengobrol, tergelak, atau bersedih bersama kita itu tetap dilubang itu. Terkubur dan hilang jadi tanah. Karena itu kita tak mudah percaya. Peristiwa itu seperti mimpi.

Tapi kematian bukan mimpi. Mimpi bisa membuat kita tak percaya tapi kita masih bisa bangun dan menjalani hidup lagi. Sementara kematian hanya bisa membuat kita tak percaya dan tak percaya dan tak percaya. Karena kematian tak jauh dan tak terduga. Ia bisa datang kapan dan di mana saja. Ia bisa datang sebagai sakit yang tak kunjung sembuh. Ia bisa datang sebagai kecelakaan kapal laut, persawat terbang yang hilang kendali, mobil atau motor di jalanan yang bertabrakan. Atau bahkan ia bisa datang ketika kita sedang sehat, ketika semangat hidup sedang menyala. 

Di samping itu, mimpi tak butuh bekal yang rumit. Hanya sebuah kantuk dan sedikit usaha untuk merebahkan tubuh. Terlelap dan mimpi pun datang. Sementara kematian, seperti yang kita tahu, bukan soal gampang. Karena ia tak jauh, tak terduga, dan tak bangun, ia butuh bekal yang tak remeh. Ia butuh persiapan agar kehidupan setelahnya jadi lebih mudah.

Kita pasti masih ingat firman Allah dan pesan Rasulullah ini:

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun: 10-11).

“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa': 78).

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya': 34).

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27).

“Manfaatkanlah 5 perkara sebelum 5 perkara
(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya 4: 341. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun keduanya tidak mengeluarkannya. Dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Jika kita telah melihat kawan, kenalan, saudara, atau keluarga dekat kita mati, kita pasti tak lupa bahwa giliran kita akan tiba. Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang menyesal di akhir tapi tetap datang terlambat.

Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari salah seorang keluarga dekat yang beberapa waktu yang lalu meninggal. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan kita semua. 

Referensi:
Rumaysho.com

Sering Dilihat

kajian

kajian
Kajian.Net