Saturday 10 January 2015

Kategori: , , , , ,

Seorang Wanita Keturunan Birasial Masuk Islam


Nama saya Dominica (Nikki), seorang janda berusia 40 tahun. Saya tinggal di Ohio Amerika. Ketika kecil saya selalu diajari untuk percaya pada Tuhan Yang Tunggal, tapi kami dulu bukan keluarga Islam. Kami dulu juga tak memakan daging babi, meski kami bukan kelurga Yahudi. Ibu saya telah tiada, namun ajarannya terpatri dalam benak saya. Kami dulu sering hadir ke Gereja, namun ibu saya selalu mengatakan untuk meniatkan doa hanya kepada Tuhan Yang Esa. Beliau adalah pembaca setia Injil Perjanjian Lama, dan sering mengatakan kepada kami bahwa tangah manusia telah merubah isinya, namun Tuhan telah meletakkan petunjuk di dalamnya kepada umatnya. Saya tak tahu dari mana ibu saya tahu semua itu, namun saya senang beliau mengetahui itu. Saya menghadiri Sekolah Babtis, di mana orang-orang di sana selalu berkata kami (saya dan saudara perempuan saya) bahwa kami adalah anak-anak hasil dari sebuah dosa (kami adalah keluarga birasial, ibu saya kaum hitam, ayah saya kaum putih). 

Seperti yang anda lihat mereka tidak pernah berada pada jalan agama yang benar. Saya ingat ketika kecil, saya selalu bertanya mengapa saya tak pernah bisa meyakini bahwa Yesus adalah Tuhan. 

Saya berhenti hadir ke Gereja selama bertahun-tahun setelah tamat sekolah. Dan saya kembali hadir ke Gereja setelah berumur sekitar 30-an tahun. Meski saya selalu hadir ke Gereja, saya selalu berdoa kepada Tuhan Yang Esa, bahwa saya hanya ingin tempat untuk menyembah-Nya. Saya tak pernah berdoa kepada Yesus melainkan hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa. 

Suatu ketika akhirnya saya memutuskan untuk pergi ke sebuah Masjid dalam rangka belajar, namun lelaki muslim yang juga belajar dengan saya selalu membual soal istri-istrinya yang banyak. Hal itulah yang membuat langkah saya surut. Ketika saya datang di sana, saya tak merasa nyaman kearena begitu menonjolkan identitas kebangsaan. Dan satu-satunya muslim yang saya kenal adalah lelaki itu. Hasilnya saya hanya datang pada beberapa pertemuan, kemudian saya berhenti total. Saya berkesimpulan waktu itu Masjid bukanlah tempat yang bersahabat. 

Anda tak bisa terus berjalan di luar jalur, anda harus paham dengan apa yang anda lakukan (bagaimana cara berpakaian yang baik dan mengapa harus berdoa dengan bahasa selain bahasa ibu), jika tidak, anda akan merasa tidak cocok dengan semua itu. Saya tak pernah bernar-benar mencintai Gereja, saya hanya ingin selalu dekat dengan Tuhan. 

Saya menjadi orang tua asuh ketika berumur 35 tahun (di Amerika ada banyak anak kulit hitam yang ditampung di panti asuhan dan diizinkan untuk diadobsi). Sehingga saya memutuskan untuk mengadobsi dua di antaranya. Mereka berdua telah bersama saya selama 5 tahun dan akhirnya saya memutuskan untuk mengadobsi mereka. Jika tidak demikian mereka akan tetap mengikuti sistem: mereka akan diujicobakan untuk tinggal dari satu rumah ke rumah yang lain. Saya mengadobsinya 2 tahun yang lalu. Sekarang mereka telah berusia 13 dan 12 tahun. Sebelum saya memutuskan untuk mengadobsi mereka, saya menikah, dan suami saya setuju untuk mengadobsi mereka. Suami saya seorang yang baik. Ia meninggal 10 minggu setelah kami menikah, oleh serangan jantung yang mendadak. 

Segalanya terasa hancur setelah itu. Dua anak itu dengan latar belakangnya: dua bocah yang kehilangan orang tuanya, tinggal di panti asuhan, dan sekarang harus kehilangan sosok bapak yang mereka kenal. Dan hal itu menyisakan trauma yang mendalam. Begitu juga bagi saya. Saya mulai minum alkohol untuk terlelap tidur di malam hari, dan terus minum dan minum. Saya masih membutuhkan Tuhan, namun saya pikir dengan minum alkohol terus menerus, saya tak akan suci lagi untuk sekadar memohon kepada Tuhan. Hingga saya dibawa ke tempat rehabilitasi untuk menyembuhkan ketergantungan saya terhadap alkohol. Saya mengalami masa-masa berat karena tidak diperbolehkan minum alkohol, hingga saya memunajatkan sebuah doa kepada Tuhan, saya ingat doa itu. 

Saat itu akhir tahun lalu. Saya ingat saat itu saya berkata kepada dua anak saya bahwa mereka tidak akan membuat setengah kesalahan yang mungkin akan mereka lakukan, jika mereka mendengarkan ibu mereka. Kemudian saya pikir, jika saya ungkapkan doa saya malam itu, saya tidak akan membuat setengah kesalahan yang mungkin akan saya lakukan jika saya pasrah dengan takdir Tuhan. 

Saya bermunajat kepada Tuhan,”Aku tak peduli jika aku tak akan pernah mendapat suami lagi, aku tak peduli seberapa banyak materi yang aku miliki di dunia ini, aku hanya menginginkan-Mu dalam hidupku. Dan aku pasrah dengan kehendak-Mu.” Saya mengungkapkan doa itu saat itu, tapi baru sekarang saya menyadarinya. Saya tidak peduli apa pun di dunia ini kecuali Tuhan. 

Sejak doa itu saya panjatkan tak pernah ada lagi keinginan untuk minum alkohol. 

Kemudian datang seorang kawan yang telah saya kenal sejak lama, ia telah menjenguk saya beberapa kali kira-kira satu bulan setelah suami saya meninggal. Ia mengenal saya dan suami saya. Ia menawarkan Islam kepada saya. Saya ceritakan kepadanya bagaimana rasaya ketika saya belajar Islam selama beberapa waktu. Tetapi saya mengatakan kepadanya saya akan membaca Al-Qur’an. Dan saya membaca Al-Qur’an hingga akhirnya mengikrarkan syahadatain. 

Alhamdulillah, Saya seorang muslimah sekarang. Saya telah menjadi mualaf sejak 19 Juli 2002. Dan inilah momen paling menggembirakan dalam hidup saya. Saya tahu saya masih harus belajar banyak, tetapi akhirnya saya mendapatkan tempat untuk beribadah kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah. Inilah kisah saya, segala puji bagi Allah. 

Terima kasih telah mengizinkan saya menceritakan kisah saya, Nikki. 

avatarRedaksi
Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda. Dipersilakan membagikan artikel-artikel yang ada di blog ini tanpa perlu meminta izin kepada tim redaksi kisah muslim dunia dengan tetap mencantumkan sumber.

← Bagikan


Share/Bookmark

0 comments:

Post a Comment