Tuesday 16 June 2015

Kategori: , ,

Yang Seperti Mimpi Tapi Bukan Mimpi Adalah Kematian


“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati.” (QS. Ali Imran: 185).


Kematian itu seperti mimpi, tak jauh dan tak terduga. Kita yang hidup bisa merasakan itu. Ketika pada suatu hari, kita mendengar atau bahkan menyaksikan sendiri kawan, saudara, atau bahkan keluarga dekat kita meninggal. Mereka meninggal dan meninggalkan perasaan tak percaya di hati kita. Kita bisa bayangkan sendiri, sebelum mereka meninggal, kita melihat mereka menghirup udara dengan santai atau kita masih mendengar mereka menjalani hidup normal seperti biasa dan di waktu yang tak disadari akhirnya kita lihat atau dengar mereka tinggal jasad. Bergeming. Kaku. Dingin. Tak bernafas. Diam. Terbaring. Mata terpejam. Dan itulah yang tak jauh sekaligus tak terduga, seperti mimpi. Mereka meninggal.

Kita tak percaya. Orang yang kemarin sore masih tergelak bersama kita, kini hanya seonggok jasad kaku. Atau orang yang kemarin malam terbaring di kasur rumah sakit dan berangsur-angsur sembuh, tapi esok pagi hanya menyisakan kesunyian. Tak ada nafas. Meninggal. Atau orang yang di pagi hari kita lihat ia sehat wal afiat namun sorenya di hari yang sama, orang itu malah sudah dishalatkan. 

Kematian itu seperti bunga tidur. Seperti mimpi yang sering kita abaikan. Tak disadari bahkan kita sering lupa, tapi tak jauh. Dengan kata lain ia dekat. Seperti mimpi. Dengan merebahkan tubuh, terlelap, tak ingat, dan kita akan berangsur-angsur menyaksikan dunia lain: mimpi. Demikianlah prosesnya. Ia bersama kita yang hidup. Yang masih merasakan udara segar di pagi hari. Ia memiliki jadwal tersendiri di keseharian kita. 

Di sisi yang lain, mimpi juga tak terduga. Tak terprediksi karena terjadi begitu saja. Tanpa skenario yang memimpin jalannya cerita. Kita bisa bayangkan itu. Di detik tertentu, kita bisa melakukan sesuatu di suatu tempat dan di detik berikutnya kita bisa melakukan sesuatu yang lain di tempat yang lain. Demikianlah komposisi mimpi kita yang sering membuat kita tak percaya.

Karena itu kita menganggapnya tak masuk akal dan kita mengabaikannya. Karena dalam mimpi kita masih bisa bangun. Kita masih punya dunia nyata yang kita jalani setiap hari. Kita masih bisa bernafas lega karena hal-hal dalam mimpi tak benar-benar terjadi. Kita masih bisa melanjutkan hidup dan merasakan kebahagiaan yang nyata. Dan akhirnya kita merasa tak perlu memikirkan hal-hal yang tak jauh dan tak terduga itu. Karena mimpi sering membuat kita tak percaya. 

Itu pula yang terjadi ketika kematian terjadi. Kita melihat orang-orang yang kita kenal atau orang-orang terdekat kita hidup, berinteraksi dengan kita, mengobrol, tergelak, bersedih dengan kita dan tiba-tiba orang itu jadi seonggok tubuh yang diam. Bergeming di pembaringannya. Dimandikan oleh beberapa orang. Dipakaikan baju sederhana. Dishalatkan puluhan atau ratusan orang. Diangkat orang-orang dengan bergantian atau dibawa mobil ambulans. Diantar ke sebuah tanah lapang. Digalikan sebuah lubang di tanah. Diturunkan ke lubang itu. Diletakkan di lubang itu. Ditata sedemikian rupa. Hingga akhirnya lubang itu ditutup dengan tanah dan orang yang kita kenal atau keluarga dekat itu tetap dilubang itu, dikubur dengan tanah pasir, lempung, dan cadas. Teruruk semuanya hingga membentuk gundukan dan orang yang kita kenal atau keluarga dekat yang biasanya berinteraksi dengan kita, mengobrol, tergelak, atau bersedih bersama kita itu tetap dilubang itu. Terkubur dan hilang jadi tanah. Karena itu kita tak mudah percaya. Peristiwa itu seperti mimpi.

Tapi kematian bukan mimpi. Mimpi bisa membuat kita tak percaya tapi kita masih bisa bangun dan menjalani hidup lagi. Sementara kematian hanya bisa membuat kita tak percaya dan tak percaya dan tak percaya. Karena kematian tak jauh dan tak terduga. Ia bisa datang kapan dan di mana saja. Ia bisa datang sebagai sakit yang tak kunjung sembuh. Ia bisa datang sebagai kecelakaan kapal laut, persawat terbang yang hilang kendali, mobil atau motor di jalanan yang bertabrakan. Atau bahkan ia bisa datang ketika kita sedang sehat, ketika semangat hidup sedang menyala. 

Di samping itu, mimpi tak butuh bekal yang rumit. Hanya sebuah kantuk dan sedikit usaha untuk merebahkan tubuh. Terlelap dan mimpi pun datang. Sementara kematian, seperti yang kita tahu, bukan soal gampang. Karena ia tak jauh, tak terduga, dan tak bangun, ia butuh bekal yang tak remeh. Ia butuh persiapan agar kehidupan setelahnya jadi lebih mudah.

Kita pasti masih ingat firman Allah dan pesan Rasulullah ini:

“Dan belanjakanlah sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian kepada salah seorang di antara kamu; lalu ia berkata: “Ya Rabb-ku, mengapa Engkau tidak menangguhkan (kematian)ku sampai waktu yang dekat, yang menyebabkan aku dapat bersedekah dan aku termasuk orang-orang yang saleh?” Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila telah datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengenal apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al Munafiqun: 10-11).

“Katakanlah: “Sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu, kemudian kamu akan dikembalikan kepada (Allah), yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” (QS. Jumu’ah: 8).

“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi lagi kokoh.” (QS. An Nisa': 78).

“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad).” (QS. Al Anbiya': 34).

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar Rahman: 26-27).

“Manfaatkanlah 5 perkara sebelum 5 perkara
(1) Waktu mudamu sebelum datang waktu tuamu,
(2) Waktu sehatmu sebelum datang waktu sakitmu,
(3) Masa kayamu sebelum datang masa kefakiranmu,
(4) Masa luangmu sebelum datang masa sibukmu,
(5) Hidupmu sebelum datang matimu.”
(HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya 4: 341. Al Hakim mengatakan bahwa hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari Muslim namun keduanya tidak mengeluarkannya. Dikatakan oleh Adz Dzahabiy dalam At Talkhish berdasarkan syarat Bukhari-Muslim. Syaikh Al Albani dalam Shahih At Targhib wa At Tarhib mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata, “Aku pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu seorang Anshor mendatangi beliau, ia memberi salam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, mukmin manakah yang paling baik?” Beliau bersabda, “Yang paling baik akhlaknya.” “Lalu mukmin manakah yang paling cerdas?”, ia kembali bertanya. Beliau bersabda, “Yang paling banyak mengingat kematian dan yang paling baik dalam mempersiapkan diri untuk alam berikutnya, itulah mereka yang paling cerdas.” (HR. Ibnu Majah no. 4259. Hasan kata Syaikh Al Albani).

Jika kita telah melihat kawan, kenalan, saudara, atau keluarga dekat kita mati, kita pasti tak lupa bahwa giliran kita akan tiba. Semoga kita tidak menjadi orang-orang yang menyesal di akhir tapi tetap datang terlambat.

Catatan: Tulisan ini terinspirasi dari salah seorang keluarga dekat yang beberapa waktu yang lalu meninggal. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa beliau dan kita semua. 

Referensi:
Rumaysho.com

avatarRedaksi
Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda. Dipersilakan membagikan artikel-artikel yang ada di blog ini tanpa perlu meminta izin kepada tim redaksi kisah muslim dunia dengan tetap mencantumkan sumber.

← Bagikan


Share/Bookmark

0 comments:

Post a Comment