Thursday 2 April 2015

Kategori: , , ,

Coba Lihat, Siapa Teroris yang Sebenarnya


Apakah anda mendengar tentang sosok lelaki yang memasuki Bandara Internasional New Orlean dengan membawa bom dan senjata tajam? Tidak? Yah pasti anda telah mendengar jika sosok lelaki itu adalah muslim.

Seorang lelaki muslim Amerika sedang berjalan dengan membawa tas besar berisi 6 bom rakitan, senjata tajam, dan semprotan beracun menuju sebuah bandara besar di Amerika. Lelaki itu memasuki bandara, mendekati bagian keamanan TSA (Transportation Security Administration), kemudian menyemprot dua petugas TSA dengan semprotan beracun. Lalu mengeluarkan senjata tajamnya dan mengacung-acungkan senjatanya kepada petugas TSA yang lain. 

Lelaki ini kemudian ditembak mati oleh polisi. Setelah peristiwa itu, di dalam mobil tersangka, polisi menemukan asetilena/gas karbit dan tangki oksigen, dua zat yang apabila dicampur akan menyebabkan ledakan yang cukup besar. 

Seandainya adegan di atas benar-benar tejadi, tidak diragukan lagi peristiwa ini akan dikabarkan secara luas sebagai sebuah serangan teroris. Peristiwa itu akan terpampang di setiap headline surat kabar di seluruh Amerika dan dunia. Dan kita akan melihat setiap kanal berita mengulas peristiwa ini selama berhari-hari. Dan tentunya, media-media sayap kanan, para politisi konservatif, dan Bill Maher akan memanfaatkan peristiwa ini sebagai alasan untuk menyulut api kebencian terhadap muslim. 

Jum’at dua pekan lalu kejadian ini benar-benar tejadi di Bandara New Orlean, namun bukan dibintangi oleh seorang lelaki muslim. Karena itu, mungkin anda membaca berita penyerangan bodoh ini pertama kali di sini, meskipun beberapa media kecil telah mengabarkan peristiwa ini dalam seminggu ini. 

Lelaki yang melakukan penyerangan ini bernama Richard White, seorang lelaki tua berumur 63 tahun yang dulu bekerja sebagai pelayan di angkatan militer dan sehari-harinya tinggal di Dinas Jaminan Sosial dan orang-orang berkebutuhan khusus. Ia dikabarkan sebagai seorang penganut Kristen Fundamentalis. 

Dengan kenyataan bahwa lelaki itu mempersenjatai dirinya dengan bahan peledak dan senjata tajam lalu masuk bandara dan menyerang petugas TSA, anda mungkin berpikir kata teroris akan muncul? Namun sampai saat ini, kata itu tak sekalipun disebutkan.   

Dengan cepat penegak hukum malah menyatakan bahwa pelaku memiliki ganggunan kejiwaan. Hal itu sangat mengagumkan karena hanya dalam waktu beberapa jam saja polisi bisa memberikan sebuah kesimpulan pasti. Polisi tidak menyebutkan mungkin peristiwa ini dilatari oleh dendam White kepada pemerintah pusat karena memecatnya dari pekerjaannya di militer atau adanya dugaan ia anti-pemerintah, dan sebagainya.  

Mungkin White benar-benar sakit jiwa. Namun menurut keterangan para tetangganya tak ada tanda-tanda White sakit jiwa. Mereka mengungkapkan bahwa White seorang lelaki pendiam dan baik. Beberapa hari sebelum peristiwa itu terjadi, menurut penuturan tetangganya, semuanya terlihat biasa-biasa saja, tak ada yang janggal. Anda pasti berpikir, setidaknya para tetangganya akan tahu kalau White memang memiliki gangguan jiwa, jika keputusan hukum telah mengatakan demikian. 

Di sini saya tidak mengatakan secara pasti bahwa White adalah seorang teroris. Saya memiliki dua pandangan tentang hal ini. Pertama, jika White seorang muslim, investigasi untuk mencari motif penyerangan yang dilakukan oleh media dan mungkin pihak kepolisian pasti telah selesai jika agamanya telah diketahui secara pasti. Jika seorang muslim melakukan tindakan keliru, pasti dianggap teroris. (Rupanya orang-orang muslim tidak mungkin memiliki gangguan jiwa.) 

Sangat berbeda jika seorang nonmuslim melakukan tindak kejahatan. Pemerintah, penegak hukum, dan media pasti melihat terlebih dahulu rekam jejak kesehatan jiwa, bukan motif terorisme. 

Tak heran jika banyak perkatakan beredar “Tidak semua Muslim adalah teroris, tapi semua teroris adalah Muslim.” Ketika media hanya menggunakan kata terorirsme jika berhubungan dengan tindakan orang-orang Islam, banyak orang akan menganggap Islamlah biang keroknya. Akan tetapi, seperti tulisan saya sebelumnya, dalam beberapa tahun terakhir, serangan teroris di Amerika dan Eropa kebanyakan dilakukan oleh nonmuslim.  

Pandangan saya yang kedua adalah bahwa peristiwa ini bisa dikatakan sebagai tindak terorisme. White dengan jelas hanya menyerang petugas TSA. Ia tidak menyerang orang lain di bandara, semisal para canlon penumpang yang sedang mengantri untuk cek barang. Dan bagi anda yang tidak tahu, ada dendam kesumat yang ditujukan kepada TSA oleh beberapa kalangan konservatif dan penganut paham kebebasan. Coba cari di Google dengan mengetik kata kunci “Stop the TSA” dan anda akan menemukan berbagai artikel yang menyatakan TSA sebagai organisasi menyimpang karena menyalahi hak-hak kebebasan. 

Misalkan dalam situs milik Alex Jones yang berisikan banyak artikel anti-TSA. Ia menyebutkan bahwa tujuan TSA bukanlah untuk mencegah terorisme melainkan untuk mengganggu kenyamanan penumpang dan melihat pakaian dalam. Glen Beck telah memperingatkan bahwa TSA berpotensi menjadi “prajurit pribadi” Presiden Obama yang bertujuan mengambil kebebasan kita. 

Di tahun 2012, Senator Rand Paul memarahi petugas TSA karena menganggapnya melakukan tindakan tak patut. Setelah kejadian itu, ia menulis di surat kabar tentang bahaya TSA, dalam tulisan itu, ia menyatakan,”Hal ini menyulut kemarahan, karena TSA menganggap ia memliki hak untuk merecoki kebebasan kita, di mana ia hanya melakukan hal kecil untuk kita dengan alasan untuk melindungi kita.”

Bahkan lebih menghawatirkan, serangan terhadap TSA tidak hanya dalam bentuk kata-kata. Di Oktober 2012, Paul Ciancia yang hendak terbang ke LAX, kemudian dengan tiba-tiba ia mengeluarkan pistol dari tasnya dan menembak dua petugas TSA hingga menewaskan satu petugas. Ciancia telah menulis anti-sistem pemerintahan, sebelum kejadian itu terjadi.  

Karena adanya iklim pertentangan semacam ini, bagaimana bisa polisi sama sekali tidak  menyebutkan adanya kemungkinan tindak terorisme dalam kasus ini? Saya telah berbicara dengan Kolonel Fortunato, juru bicara Kantor Polisi Jefferson County Serriff selaku penanggung jawab dalam kasus ini. Fortunato menjelaskan bahwa karena hukum negara telah memutuskan demikian, pihaknya tidak bisa memberikan informasi apa pun mengenai gangguan jiwa yang dialami White atau mengenai perawatan yang telah atau tidak dijalani White. 

Ketika saya bertanya kepada Fortunato, apakah pihak kepolisian telah menginvestigasi rekam jejak penggunaan media-media digital untuk mengetahui secara pasti dugaan White telah mengunjungi situs-situs anti-pemerintah atau melakukan investigasi di rumahnya untuk mengetahui adanya dugaan ia terpengaruh oleh bacaan-bacaan anti-pemerintah atau telah membuat pernyataan anti-pemerintah, ia malah menanggapi pertanyaan saya dengan penuh emosi. Ia menjelaskan bahwa investigasi yang dilakukan tertutup untuk umum. Fortunato menegaskan bahwa White melakukan tindakan itu sendiri dan tak hubungannya dengan jaringan kelompok teroris. Namun kemudian ia menambahkan bahwa kita tidak akan pernah mengetahui pasti apa motiv White, karena ia mati sebelum bisa ditanyai.  

Namun saya yakin bahwa ada beberapa media dan penegak hukum yang lebih suka menggunakan istilah terorisme ketika kasus itu menimpa orang-orang Islam. 

Mengapa? Karena hal itu mudah dilakukan. Orang-orang Islam dipandang sebagai “pihak lain” bukan sebagai sahabat Amerika. 

Saya tidak tahu pasti apa yang bisa mengubah mindset ini. Namun jika masyarakat Amerika ingin benar-benar aman, penegak hukum dan media perlu memahami bahwa teorisme bukan hanya soal Muslim. 

avatarRedaksi
Semoga artikel ini bermanfaat bagi Anda. Dipersilakan membagikan artikel-artikel yang ada di blog ini tanpa perlu meminta izin kepada tim redaksi kisah muslim dunia dengan tetap mencantumkan sumber.

← Bagikan


Share/Bookmark

1 comments:

  1. terroris itu kan claim terhadap tindakan berencana yang memiliki paham yang menjadi dasar pengorganisasian,
    tentu kalo sudah tertangkap tolong ditanya dulu, apakah dasarnya...?
    media juga jangan mengelabui fakta , seperti menyebutkan melakukan aksi pemboman atau pembunuhan atau pemerkosaan atau pencambukan dengan alasan psikologis,

    pelaku aksi yang menjurus kepada terror tidak mungkin terbuai begitu saja dgn uang atau wanita, tentu akan berubah menjadi aksi verbal bukan lagi terror,
    tetapi kalo memiliki dasar seperti penamaan suatu kaum-masyarakat seperti atas nama ras/ kafir/jahudi/nasrani, tentu mediasinya harus jelas kenapa yang non kafir/jahudi/nasrani ikut menjadi sasaran ??
    pelacur itu kafir ? wanita seleweng itu kafir ? apa dasarnya menyebut kaum suku tertentu sebagai jahudi/nasrani ?

    ReplyDelete