Assalamualaikum Wa Rahmatullah Wa Barakatuh
Nama saya Marc dan beginilah kisah saya masuk Islam
Perjalanan saya menuju Islam, boleh dikatakan, tak biasa. Sebagian besar mualaf yang telah saya temui berasal dari latar belakang liberal dan paham-paham lain yang cukup terbuka. Latar belakang saya jauh dari itu semua. Kedua orang tua saya adalah anggota militer Amerika sehingga mendidik saya begitu keras. Ayah saya sangat rasis, karena itu, saya juga tumbuh dengan pemahaman rasis hingga berumur 24 tahun. Saya ingat, ketika kecil saya sering mendengar ayah mencerca dan menyerang orang-orang arab, muslim, agama mereka, cara hidup mereka, dan ras mereka. Karena ini merupakan ajaran yang ditumbuhkembangkan dalam hidup saya, akhirnya saya juga bersikap demikian. Masa kecil saya sangat bermasalah, sebagaimana akan saya ceritakan selanjutnya.
Ayah saya seorang pemabuk dan seorang yang sangat kasar. Saya tumbuh dalam ketakutan permanen akan kekerasan terhadap diri saya, ibu, dan saudara-saudara saya. Karena saya tumbuh dalam latar belakang semacam itu, sangat maklum jika saya mencari orang-orang yang bisa menggantikan kehidupan yang tak saya dapat dari keluarga. Namun masalah selanjutnya muncul: saya mendapatkan kawan-kawan yang sangat buruk.
Selama beberapa tahun saya bergabung dengan kelompok rasis radikal. Meski sebenarnya, saya tak pernah merasa tenang dengan jalan hidup seperti ini. Namun saya senang karena menjadi pemimpin yang disegani. Ketika itu, saya terkenal dan ditakuti oleh orang-orang di kota lahir saya. Kerinduan saya akan keluarga dan kawan-kawan tak menghilangkan benih-benih kebencian dalam hati. Saya tak pernah sadar bahwa apa yang saya lakukan adalah sebuah kekeliruan besar dan ketidakadilan yang nyata. Ketika berumur 16 tahun, kawan karib saya yang seorang Mexiko pernah bertanya kepada saya,”Mengapa kamu berkumpul dengan orang-orang jahat, kamu lebih baik keitimbang mereka.” Dia benar. Tapi ada bagian dari diri saya yang, meskipun saya sangat membenci ayah saya dengan apa yang telah ia lakukan kepada keluarga saya, tapi saya ingin menjadi seperti ayah. Itulah sikap rasis dan kebencian saya bermula. Kondisi semakin buruk, ketika saya dipaksa pergi dari rumah. Saya pikir inilah yang mengunci kemungkinan Islam bisa masuk dalam kehidupan saya. Jauh dari ayah saya, kebencian yang saya rasakan, dan memahami dunia dan masyarakat dengan cara saya sendiri.
Selama beberapa tahun saya menjalani kehidupan yang berat dan saya melanjutkan kehidupan seperti itu. Saya sering mabuk, memakai narkoba, dan mendapat masalah serius dengan hukum negara. Orang-orang yang saya cari untuk bisa menggantikan keberadaan keluarga saya adalah orang-orang yang paling buruk perangainya; kekerasan, tak jujur, dan tak pernah bisa dipercaya. Itulah pertama kalinya saya bisa merasakan hidup tanpa figur seorang ayah yang selama ini membayang-bayangi hidup saya.
Saya mulai sadar, kebohongan ini berasal dari lingkungan tempat saya bernaung. Saya mulai bisa melihat kebenaran, betapa hidup saya telah hancur. Inilah titik balik, di mana saya mulai mempertanyakan setiap sisi kehidupan saya, termasuk spiritual saya. Saya mulai mengambil sikap, bahwa seluruh kehidupan saya telah terjangkit keburukan dan harus ditata ulang.
Kesenangan saya dalam membaca membuat saya memiliki perpustakaan kecil, yang kini berisi hampir seribu buku, mulai buku-buku tentang Kant, Ramadhan, hingga kata-kata bijak Edward. Saya memiliki pacar waktu itu, yang kemudian saya nikahi. Ia juga aktiv dalam kelompok rasis yang saya ikuti. Selalu ada kekhawatiran dalam diri saya jika ia akan merasa tersinggung dengan pemikiran baru yang saya miliki. Saya jadi pecandu buku dan saya selalu membaca buku di mana pun berada selama beberapa tahun.
Kesenangan saya dalam membaca membuat saya memiliki perpustakaan kecil, yang kini berisi hampir seribu buku, mulai buku-buku tentang Kant, Ramadhan, hingga kata-kata bijak Edward. Saya memiliki pacar waktu itu, yang kemudian saya nikahi. Ia juga aktiv dalam kelompok rasis yang saya ikuti. Selalu ada kekhawatiran dalam diri saya jika ia akan merasa tersinggung dengan pemikiran baru yang saya miliki. Saya jadi pecandu buku dan saya selalu membaca buku di mana pun berada selama beberapa tahun.
Selama peristiwa Intifada bergejolak di Palestina, ayah saya, sebagai orang yang rasis dan antiorang arab dan yahudi, ia sangat mendukung ekspansi Israel. Saya pikir, ia memang membenci yahudi dan orang-orang nonputih, tetapi kebenciannya terhadap arab melebihi kebenciannya terhadap yahudi, karena itulah ia mendukung yahudi-israel. Ketika saya melakukan pemikiran ulang tentang apa yang saya pelajari di masa muda dulu, saya memutuskan untuk lebih mendalami kecamuk yang terjadi di Timur Tengah. Saya mulai membaca buku-buku umum yang membahas sejarah Timur Tengah dan politik nasional di sana. Lagi-lagi saya menemukan kesulitan dalam mempelajari itu, karena saya tidak paham soal Islam. Ketika kecil dulu saya sering datang ke Gereja, namun tidak memiliki dasar keinginan yang kuat untuk menengok agama lain.
Ayah saya memiliki kebencian yang kuat terhadap Islam, sehingga ketika berusia belasan tahun saya juga membenci Islam dan menyebarkan kebencian itu tanpa memiliki alasan yang kuat dan tanpa mengetahui ajaran Islam yang sesungguhnya serta bagaimana muslim memahami Islam. Kebencian itu terus tertanam dalam pikiran, bahkan tanpa pernah menemui seorang muslim sekali pun. Oleh karena itu, saya mulai mempelajari Islam; ajaran dan sejarahnya. Masa itu bertepatan ketika internet mulai populer, sehingga saya mencari sumber-sumber dari buku-buku dan internet untuk membantu saya memahami Islam. Saat itu saya tinggal di Washington dan tidak mengetahui komunitas muslim di sana, sehingga tak seorang muslim pun yang bisa saya ajak diskusi.
Setelah itu, istri saya berpindah kerja ke London, sehingga mengubah rencana yang telah saya rancang. Ketika berada di London, ketertarikan saya beralih sejenak. Saya berada di negara baru dengan sejarahnya yang panjang, sehingga selama beberapa tahun saya menghabiskan waktu untuk menjelajahi sejarah dan daerah-daerah di Eropa. Seiring berjalannya waktu, saya tertarik kembali untuk mempelajari Timur Tengah dan situasi politik di sana. Saya berada di negara di mana komunitas muslim terbentuk dengan apik, meski di kota tempat saya tinggal tidak ada komunitas muslim. Saya mulai membaca tentang Islam: keyakinan, ideologi, dan sejarahnya.
Setelah itu, istri saya berpindah kerja ke London, sehingga mengubah rencana yang telah saya rancang. Ketika berada di London, ketertarikan saya beralih sejenak. Saya berada di negara baru dengan sejarahnya yang panjang, sehingga selama beberapa tahun saya menghabiskan waktu untuk menjelajahi sejarah dan daerah-daerah di Eropa. Seiring berjalannya waktu, saya tertarik kembali untuk mempelajari Timur Tengah dan situasi politik di sana. Saya berada di negara di mana komunitas muslim terbentuk dengan apik, meski di kota tempat saya tinggal tidak ada komunitas muslim. Saya mulai membaca tentang Islam: keyakinan, ideologi, dan sejarahnya.
Saya juga mulai membaca Al-Qur’an. Saya terkejut dengan informasi pertama yang saya dapatkan: Al-Qur’an memberikan jawaban atas keraguan saya terhadap agama yang saya peluk sejak kecil. Saya selalu bertanya-tanya tentang ajaran bahwa Tuhan memiliki keturunan. Dari apa yang telah saya baca saya akhirnya tahu bahwa kepercayaan ini berasal dari agama berhala: Zeus, Odin, dan agama-agama berhala lain yang percaya bahwa Tuhan memiliki keturunan. Dalam ajaran Odin, pengikutnya percaya bahwa Odin menempel di sebuah pohon, hampir sama dengan pemeluk Kristen yang percaya bahwa Yesus menempel di sebuah salib. Odinis, nama bagi pengikut agama kuno dari Eropa Utara ini, juga meyakni trinitas: tuhan bapa sebagai Odin, anak laki-lakinya bernama Thor, dan istrinya bernama Freja. Dengan ini menjadi jelas, inovasi yang dilakukan orang-orang kristen tidak berdasar dari Tuhan, melainkan berasal dari agama berhala yang ada sebelumnya. Saya juga merasa betapa Tuhan bisa begitu tak adil karena menjadikan manusia menanggung dosa yang dilakukan orang lain yang telah mati ribuan tahun silam. Hal ini menurut saya terasa tak adil. Akhirnya saya mengerti konsep dasar ketuhanan; bahwa Tuhan tak mungkin berlaku tak adil. Itulah perkara dosa asli atau dosa turunan yang selama bertahun-tahun membuat saya bertanya-tanya akan keabsahannya.
Saya selalu merasa bahwa ajaran Kristen tak memiliki jawaban tentang perkara tersebut dan jika mereka menjawab, jawabannya hanya akan memperkuat posisi ketidakadilan tersebut. Saya mencoba mempelajari ajaran Yahudi, namun ajaran Yahudi memunculkan lebih banyak pertanyaan ketimbang jawabannya. Sikap mereka terhadap para nabi sungguh tak bisa diterima. Kitab suci mereka mendakwa manusia-manusia ini yang telah melakukan kerusakan besar. Saya menolak meyakini bahwa Tuhan memilih manusia-manusia ini untuk dijadikan pemimpin di bumi ini. Jika ajaran Yahudi seperti ini, bagaimana saya bisa memercayai dan mencari petunjuk melalui agama semacam ini? Dengan ini telah jelas betapa Islam menjawab seluruh keraguan dalam perkara ini.
Islam menjelaskan kebingungan terhadap kebohongan trinitas dan menerangkan dengan jelas peran Yesus (Isa) alaihissalam sebagai nabi, bukan sebagai anak Tuhan. Islam menghormati seluruh nabi alaihisalam jami'an dan mengenal mereka sebagai manusia-manusia pilihan Tuhan. Dengan Islam, saya temukan jawaban dari seluruh permasalahan dan pertanyaan saya selama ini, juga masa depan manusia. Masalah terbesar saya selanjutnya adalah bagaimana menerapkan ajaran Islam ke dalam kehidupan saya. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, saya memiliki istri yang juga anggota kelompok rasis radikal. Dia tak memiliki bayak waktu untuk berdiskusi dengan saya soal ketertarikan saya dengan hal-hal ini; Islam maupun politik Timur Tengah.
Saya sadar jalan yang saya butuhkan untuk menempuh jalan hidup baru tak mudah ditempuh. Akhirnya telah tiba saatnya, saya menyadari bahwa saya tak akan bisa menerapkan ajaran Islam jika tetap bersama istri saya. Karena itu kami berpisah.
Sebelum saya meninggalkan Inggris, saya pergi ke sebuah masjid dengan seorang laki-laki lebanon untuk mengikrarkan syahadatain. Ketika saya berpisah dengan mantan istri saya, saya dipaksa untuk segera meninggalkan Inggris. Saya senang tinggal di Inggris, karena kesempatan untuk mempelajari Islam lebih banyak. Tapi Alhamdulillah, Allah telah menentukan jalan saya untuk kembali ke Amerika dan saya bisa mengambil hikmah yang besar dari peristiwa itu.
Sebelum saya meninggalkan Inggris, saya pergi ke sebuah masjid dengan seorang laki-laki lebanon untuk mengikrarkan syahadatain. Ketika saya berpisah dengan mantan istri saya, saya dipaksa untuk segera meninggalkan Inggris. Saya senang tinggal di Inggris, karena kesempatan untuk mempelajari Islam lebih banyak. Tapi Alhamdulillah, Allah telah menentukan jalan saya untuk kembali ke Amerika dan saya bisa mengambil hikmah yang besar dari peristiwa itu.
Dengan cepat saya mendapatkan pekerjaan sebagai pegawai pemerintah Amerika di Alaska. Tentu saja, tak banyak komunitas muslim di Alaska. Hanya ada dua komunitas muslim di pusat kota Anchorage dan Fairbank. Sementara tempat saya bekerja jauh dari dua kota tersebut. Karena itu saya memilih untuk mempelajari Islam lewat buku-buku dan internet.
Saya sering ke Wahington DC. Saya bergabung dengan komunitas muslim di sana. Saat itulah saya mulai berpikir untuk menikah. Saya sedikit kawatir dengan keadaan saya: seorang mualaf. Saya tahu orang-orang muslim berasal dari berbagai latar belakang etnik, karena itu mungkin mereka tidak akan memperbolehkan anak perempuannya dinikahi seorang mualaf Amerika berkulit putih. Hal ini lebih buruk lagi karena saya memiliki tato yang saya dapatkan ketika berusia remaja. Karena itulah saya tak yakin akan memperoleh seorang muslimah dan keluarganya akan menerima saya apa adanya.
Saya sering ke Wahington DC. Saya bergabung dengan komunitas muslim di sana. Saat itulah saya mulai berpikir untuk menikah. Saya sedikit kawatir dengan keadaan saya: seorang mualaf. Saya tahu orang-orang muslim berasal dari berbagai latar belakang etnik, karena itu mungkin mereka tidak akan memperbolehkan anak perempuannya dinikahi seorang mualaf Amerika berkulit putih. Hal ini lebih buruk lagi karena saya memiliki tato yang saya dapatkan ketika berusia remaja. Karena itulah saya tak yakin akan memperoleh seorang muslimah dan keluarganya akan menerima saya apa adanya.
Seorang kawan baru memberi informasi bahwa ada seorang muslimah yang sedang mencari pendamping hidup. Kemudian ia memberikan nomor teleponnya kepada saya. Ketika pulang kerja, saya mencoba menghubunginya, tapi ia tidak berada di rumah, sehingga saya hanya meninggalkan pesan. Hari berikutnya saya menghubunginya dan kami berbicara selama beberapa jam. Kami bertukar alamat email dan selama tiga hari berikutnya kami berbicara selama berjam-jam. Saya mengantuk sekali setelah itu, bahkan saya tertidur di tempat kerja. Kami berbicara banyak hal tentang apa pun yang berkaitan dengan bagaimana membangun pernikahan yang sukses. Saat itu saya telah melihat bahwa banyak persamaan antara kami berdua yang seluruhnya berporos pada penghambaan kami kepada Allah. Saya memiliki feeling dengannya, bahwa ia sangat berarti bagi saya.
Ia seorang muslimah yang taat dan memiliki ilmu agama yang banyak sehingga bisa mengajari saya. Tak hanya bisa mengajari saya ilmu agama, ia juga bisa mengajari saya bahasa Arab, karena ia memang berasal dari Arab. Kami berbicara lewat telepon dan email selama beberapa bulan. Berbicara lewat telepon dan email memang sangat menyenangkan, tapi kami sadar kami harus bertatap muka langsung untuk memperoleh kecocokan secara langsung. Selalu tanamkan ajaran Islam pada diri, bahwa yang kami lakukan untuk membuat semuanya halal dan tepat berada pada tempatnya.
Dengan persetujuan keluarganya, saya memutuskan akan berkunjung ke rumahnya di bulan Ramadhan agar bisa berbuka bersama dengan seluruh keluarganya. Saya sangat gugup dan saya memiliki alasan yang jelas untuk itu. Seperti yang telah saya ceritakan sebelumnya dan pastinya anda sadar; calon istri saya dan keluarganya adalah orang asli Arab. Sementara saya adalah orang yang selama ini rasis dan memiliki masalah dengan perbedaan budaya dan kini saya akan bertemu dengan calon istri dan keluarganya yang notabene berasal dari Arab. Dengan berbekal tawakal dan kerongkongan yang terasa tercekat saya mempersiapkan pertemuan dengan perempuan mengagumkan ini dan keluarganya yang terlihat menakutkan bagi saya. Saya tiba di Washington DC tepat sebelum matahari tenggelam. Dengan membawa tas, saya menunggu taxi lewat. Hingga datanglah sebuah taxi dan saya menaikinya.
Di depan stir, seorang sopir taxi mengenakan gutra merah bercorak petak-petak dan sorban Arab di kepala. Ketika berada di dalam, saya mengucapkan salam,”Assalamualaikum.” Dan ia membalas salam saya. Matahari telah tenggelam, saya lihat ia berbuka dengan sebutir kurma. Ia bertanya,”Apakah anda berpuasa?” “Ya” jawab saya. Kemudian ia menawarkan kurma kepada saya. Saya kira laki-laki tua ini asli Afganistan. Saya pikir ini pertanda baik bagi saya.
Setelah meletakkan barang-barang di hotel, saya bergegas menuju rumah keluarga calon istri saya. Saya membawa kurma dan parfum sebagai hadiah. Setelah keluar dari taxi, saya berjalan mantap hingga ke depan pintu rumah. “Bismillah” ucap saya dalam hati. Saya yakin Allah memilihkan yang terbaik untuk saya. Gambaran-gambaran adegan setelah ini berputar-putar dalam pikiran saya: ia akan menyukai saya namun keluarganya akan menolak saya mentah-mentah atau keluarganya tak akan keberatan tapi ia tak tertarik dengan saya. Bagaimana jika mereka menyukai saya namun saya tak menyukai mereka? Jarak 10 meter dari pintu rumah itu terasa seperti 10 mil. Begitu lama.
Akhirnya saya tiba di depan pintu rumah itu dan segera memencet bel. Saya rasa seluruh isi rumah menjawab panggilan saya: orang tua, orang-orang seusia saya, laki-laki, perempuan, dan semuanya. Dengan hangat mereka semua menyambut kedatangan saya. Alhamdulillah, semua kekhawatiran saya telah sirna. Mereka cepat akrab dengan saya. Setelah berbincang saat makan malam, akhirnya semuanya jelas: kami telah merasa serasi.
Di bulan Januari kami melangsungkan pernikahan di hadapan kawan dan keluarga. Bulan madu kami sangat menyenangkan. Kemudian saya kembali ke Alaska untuk menyelesaikan pekerjaan hingga akhir April. Setelah selesai, saya pindah ke Washington DC dan bekerja di cabang perusahaan saya di sini. Saya sudah sekitar dua tahun di sini. Ini sangat mengagumkan. SubhanaAllah, bagaimana Allah menuntun saya dari seorang kafir yang tinggal di sebuah rumah yang penuh kebencian hingga menuju Islam.
Sekilas, tampak memang saya tak diberikan sosok ayah dalam hidup saya oleh Allah, tapi itu bukan masalah buat saya. Allah selalu mengawasi saya. Dia menuntun saya melewati setiap bahaya dan masa-masa pahit untuk menjadi seorang lelaki sejati dan seorang muslim. Orang-orang mengatakan keajaiban tak pernah datang sekarang, tapi kisah saya membuktikan kata-kata itu salah.
Sekilas, tampak memang saya tak diberikan sosok ayah dalam hidup saya oleh Allah, tapi itu bukan masalah buat saya. Allah selalu mengawasi saya. Dia menuntun saya melewati setiap bahaya dan masa-masa pahit untuk menjadi seorang lelaki sejati dan seorang muslim. Orang-orang mengatakan keajaiban tak pernah datang sekarang, tapi kisah saya membuktikan kata-kata itu salah.
← Bagikan

0 comments:
Post a Comment